Lanjutan Surat Terbuka Untuk Mas Admin @Hitsbiruhitam
Halo Mas admin, ketemu lagi dengan saya. Semoga kita bisa makin akrab. Maaf baru bisa muncul lagi setelah sekian lama. Mohon maaf lahir batin juga mumpung masih sisa suasana lebaran. Sesuai janji, ini adalah lanjutan dari surat saya sebelumnya.
Hal yang lucu adalah ketika saya mencoba mendalami masalah kita ini (atau masalah yang dibuat-buat saya sendiri), saya disadarkan bahwa literatur yang saya gunakan ternyata sangat sedikit. Akun Instagram beginian saja ternyata nyangkut ke begitu banyak dimensi, Mas. Dari mulai media, perempuan, pemasaran, ekonomi, psikologi, sosiologi, bahkan politik praktis. Paradoks yang diciptakan mengantarkan saya ke berbagai perspektif baru. Jadi harap maklum kalau saya ngomong panjang dan ngelantur.
Sekali lagi saya membuat disclaimer bahwa saya bukannya tidak setuju akan keberadaan akun ini. Malah saya kagum dengan inisiatif Mas sendiri (atau dengan teman-teman lain) untuk menerobos budaya pakem di Mipa. Di Fakultas kita ini saya akui jarang terjadi lompatan-lompatan, Mas. Sebagai pionir-sains-bangsa semestinya kita mengingat bahwa semua saintis besar adalah penerobos zaman: Orang yang berpikiran sangat logis dan rasional, jauh melampaui manusia-manusia pada zamannya. Gerakan perubahan seperti ini menurut saya sangat patut diapresiasi.
Kita ketahui bahwa semua perubahan akan diikuti oleh sisi positif-negatif, walau tergantung bagaimana sudut pandang dan cara kita menyikapinya. Ambillah contoh kecil keberadaan Gojek, legalisasi pernikahan sejenis di Amrik, juga pindahnya Petr Cech ke Arsenal. Dalam pembukaan ini saya coba mengambil pendekatan sosiolog Robert K. Merton dalam konsep disfungsi dan perubahan sosialnya, dimana:
konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku yang bersifat disfungsional akan memperlemah integrasi yang akhirnya membuat ketegangan dan kekacauan dalam sistem. Kemudian secara disadari atau tidak, maka sistem itu akan mengalami sebuah perubahan stuktural (perubahan sosial). Berdirinya struktur yang baru ini selanjutnya menghasilkan akibat-akibat baru dan kemudian begitu seterusnya.
Yang dalam bahasa yang sekiranya dimengerti oleh anak Mipa adalah: kalau dampak perubahan sampingan yang diakibatkan oleh adanya akun @hitsbiruhitam tidak dicari keberadaannya, maka secara sadar atau tidak, perubahan yang tidak dikehendaki dan mungkin buruk akan terjadi.
Persis film 5cm yang sukses mendatangkan ribuan pendaki dadakan karena menampilkan mendaki Gunung Semeru semudah jalan-jalan ke Ancol. Pevita saja yang pake OOTD ke mall dan hanya bermodalkan mimpi juga semangat pertemanan bisa sampai Mahameru, tanpa harus jogging rutin, belajar manajemen perjalanan, mempelajari medan pendakian, dan pertolongan dasar. Jadilah pendaki-pendaki kagetan ini buang sampah sembarangan, buang (maap) feses dimana-mana, bahkan beberapa membuang nyawanya akibat kurangnya persiapan. Konsep disfungsi dan perubahan sosial Merton ini persis juga dengan kasus “udah terlanjur sayang” di kalangan anak muda, Mas. Tak usahlah saya jelaskan bagaimana gejalanya, terlalu perih untuk hanya sekedar ditulis.
Saya setuju dengan keberadaannya, senang dengan langkahnya, namun tidak cinta apa adanya karena menurut saya dampak perubahan yang terjadi tidak menunjukan ke arah yang semakin positif. Masih banyak sisi yang bisa digali dari akun ini untuk menghasilkan value. Sesuai sabda Akang Tulus, saya mencoba menuntut sesuatu biar kita jalan ke depan, Mas #loveWins #Hore. Pertama kita perlu menemukan dulu apa yang mengganjal dalam roda sistem akun @hitsbiruhitam yang Mas jalani. Hasil pertapaan saya di Gunung Ciremai mengantar saya pada suatu kerikil: kecil, kurang terlihat, tapi membahayakan. Kerikil yang nampaknya sudah masuk ke dalam sepatu sehingga berjalan pun jadi sakit. Mari ikuti saya.
Kekuasaan Monarki
Saya sendiri sempat berfikir “ngapain ya gue harus ngurusin privasi akun orang lain?” Tentu saja, berdasarkan klise demokrasi yang sering didengung-dengungkan itu, setiap orang di negara ini berhak mengemukakan pendapatnya, Mas. Termasuk menyatakan siapa saja mahasiswa-mahasiswi di FMIPA UI yang termasuk dalam golongan Hits. Tidak peduli bagaimana standarnya, apa kriterianya, maupun pertimbangan lain yang bisa ditimbang. Mas memilih menggunakan sistem itung kancing kemeja pun merupakan itu pilihan, Mas. Dilindungi oleh negara menurut UU nomor 9 tahun 1998 dengan judul kerennya: kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
Tapi yang membuat saya, dan mungkin beberapa orang lain, gusar adalah emblem “biruhitam” tok sehingga menjadikannya agak Official: pesan tersirat bahwa ini adalah pilihan bersama anak Mipa, dimana saya termasuk di dalamnya. Andai kata saya yang menjadi admin, lalu menamakan akun ini “Anak Hits Mipa menurut Ryan” maka niscaya tak kan ada tulisan ini karena Ryan bebas mengemukakan pendapatnya, Mas. Ada perwujudan hak dan tanggung jawab disana. Tinggal tergantung ada yang mau follow atau tidak. Tapi memang, dari perspektif lain anonimitas ini bisa bagus juga karena pasti akan banyak yang “menghakimi” kalau Mas berani menunjukan diri.
Dalam sistem legislatif negara kita yang demokratis, pengambilan keputusan diusahakan sejauh mungkin dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila tidak terpenuhi, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Keputusan berdasarkan suara terbanyak ini adalah sah apabila diambil dalam rapat yang telah mencapai kuorum (anggota dan unsur fraksi), dan disetujui oleh lebih separuh jumlah anggota yang hadir.
Okelah repot juga kalau harus mengadakan musyawarah terbuka bagi seluruh mahasiswa untuk ngurus akun instagram doang. Tapi apakah kita semua, mahasiwa FMIPA selain Mas Admin, dipandang walk-out sehingga dianggap telah hadir dan tidak mempengaruhi sahnya keputusan? Atau apakah pernah konstituen se-Mipa memberikan mandat Surat Izin Menjadi Admin kepada Mas? Maka sistem Mas ini terbilang Monarki Absolut. Mirip tukang parkir yang mengklaim sepihak tanah atas miliknya lantas mengambil 1000 rupiah, bahkan sudah 2000, atas pembeli, yang sebelumnya sudah dikenakan pajak atas negara.
kalau Bang Faldo Maldini, Bang Jovial da Lopez, atau Barry bolehlah diterima secara aklamasi (pernyataan setuju suatu usul tanpa melalui pemungutan suara) masuk dalam khazanah Hits Mipa. Apalagi Kang Taufik, Wakil Ketua BEM UI 2015 nan tersohor kegantengannya se-UI itu. Tetapi dalam beberapa banyak pilihan, saya mau bilang bahwa pilihan Yang-Mulia-Paduka-Admin terbilang random. Dengan berat hati saya menyampaikan adanya pelanggaran terhadap sila ke-4 Pancasila #MERDEKA!! #HidupAkangBatman!!
Integritas
Memang, media dalam suatu pengertian dapat berperan sebagai pembentuk dan pengkonstruksi informasi, Mas. Sang pemilik media memiliki kekuatan untuk mereproduksi cara masyarakat dalam menempatkan dan memandang suatu masalah, melalui susunan representasi dari realitas yang disajikannya. Maksudnya adalah media memang selalu subjektif dengan memilih sudut pandang mana yang akan diberikannya ke masyarakat. Ambilah contoh berita dari Metro TV dan TV One sepanjang tahun 2014. Atau portal berita Detik.com yang mengabarkan bahwa saya dan beberapa teman Geografi UI 2011 ngerjain Tim Gegana dengan membuat bom rakitan di Mipa pada tahun 2013.
Saya sepertinya terlalu muluk untuk membayangkan Mas memakai jalur saintifik dalam proses pemilihan: menggunakan banyak data, diseleksi melalui metode yang terukur, lalu diverifikasi kebenarannya. Memang cuma Mas sendiri dan Tuhan yang tahu. Absennya proses ini membuat reputasi dan integritas akun @Hitsbiruhitam rendah. Memang susah, tapi media atau individu yang biasa berpendapat dengan disiplin verifikasi yang ketat, akan memiliki reputasi yang baik dan integritas yang dapat dipercaya. Apalagi tidak proporsionalnya konten yang Mas bagikan dengan judul akun (sudah saya bahas di surat pertama) nampaknya memantapkan kenyataan tersebut.
Penjualan
Perjalanan dari tidak diikutsertakannya anak Mipa (baik secara aktif maupun pasif), serta pemilihan konten yang kurang representatif, mengantarkan kita pada kurang “terjual”-nya akun ini.
Mari kita coba sok pakai data. Berikut adalah hasil statistika deskriptif dari 97 foto tentang jumlah likes dan komentar di @hitsbiruhitam pada tanggal 6 Agustus 2015 (sebenarnya ada 100 postingan, tapi 3 diantaranya bukan foto melainkan gambar bertulis).
Likes | Comment | |
Jumlah | 1737 | 389 |
Mean | 17,9072 | 4,0103 |
Median | 16 | 3 |
Std. Deviasi | 9,0209 | 3,45053 |
Min | 5 | 0 |
Maks | 54 | 14 |
Tabel deskriptif jumlah likes dan comment di akun @Hitsbiruhitam (6 Agustus 2015)
Bagi saya yang 3 kali mengambil kelas Metode Statistik (ngulang terus), tentu menginterpretasi tabel diatas bukan perkara sulit. Coba kita telaah kolom Likes. Dengan jumlah 882 pengikut, tak usah lulus sarjana ekonomi untuk tahu bahwa feedback yang diterima lesu: hanya rata-rata “terjual” 17,9 likes, 2,1% dari jumlah penawaran. Memiliki range data 49 dan median 16, data terkumpul pada kuartil pertama-kedua. Keadaan ini di bawah rata-rata.
Dalam setiap industri selalu terdapat selling formula. Akun Mas mungkin rumusannya 50:30:10:1, yang berarti ketika Mas ngepost kepada 50 orang, 30 orang kebetulan melihat di home Instagram-nya, 10 orang akan tertarik, dan 1 orang akan ngelike (angka 50 dan 1 adalah hasil pembulatan pembagian 882 dan 17,9, sementara 30 dan 10 adalah asumsi). Bahkan dengan ongkos yang sangat murah, yaitu mengorbankan waktu 1 detik dalam hidup, rasio penjualan terbilang rendah. Apalagi untuk comment yang ongkosnya lebih mahal.
(Saya mengabaikan kenyataan bahwa pada awalnya jumlah followers belum sebanyak sekarang, dengan asumsi followers baru masih dapat ngelike dan comment postingan lama).
Ingat, Mas punya target pasar sebanyak 600-800 orang per-angkatan, belum ditambah calon maba maupun alumni (walaupun memang tidak semuanya punya Instagram). Dengan tidak memiliki biaya produksi dan biaya distribusi, maka masalah terdapat pada bagian permintaan. Dengan kata lain, konsumen tidak suka/tidak butuh produk Mas saat ini.
Apakah Mas mulai bertanya Lalu apa yang diinginkan konsumen? (atau mau lu apaan sih YAN?! wkwk) Tenang Mas, sabar. Santai sedikit. Tuma’ninah dulu.
Eksperimen
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya iseng melakukan eksperimen sosial mengenai pendapat mahasiswi UI tentang akun @ui.cantik. Ada 39 mahasiswi kurang beruntung yang saya kontak, 3 diantaranya pernah masuk akun tersebut. Dalam wawancara, saya menanyakan dua topik yaitu:
1) Apakah mau seandainya ditawarkan oleh admin @ui.cantik untuk masuk akun tersebut?
2) Seandainya mereka tiba-tiba masuk, apakah suka? (untuk yang pernah masuk tentu tak perlu berandai-andai)
Walaupun pengambilan responden sangat tidak benar (hanya dari kenalan, tidak memakai kriteria valid), saya kira data ini masih dapat dijadikan gambaran kasar. Responden adalah mahasiswi dari semua fakultas yang ada di UI, mulai angakatan 2014-2011. Berikut adalah hasilnya secara kuantitatif:
Untuk lebih rinci, saya bagi menjadi 4 golongan, yaitu a) setuju dan suka bila masuk, b) setuju tapi tidak suka bila dimasukkan, c) tidak setuju, tapi suka (beberapa pasrah) bila masuk, d) tidak setuju dan tidak suka.
Peringkat pertama (d) atau hampir setengahnya adalah para mahasiswi yang tidak setuju dan tidak suka bila masuk dalam konten @ui.cantik. Hal ini memperlihatkan sebenarnya akun @ui.cantik pun mendapat penolakan yang cukup besar, di mata perempuan. Kedua (c) adalah mahasiswi yang malu-malu: tidak mau bila ditawarkan, tetapi tetap ada rasa senang bila masuk. Dalam kelompok ini juga saya masukkan orang yang tidak peduli bila terlanjur masuk. peringkat ketiga (a) adalah yang mau dan suka. Dan terakhir (b) adalah yang setuju bila ada izin dahulu. Mereka tidak suka kalau tiba-tiba masuk @ui.cantik karena dianggapnya telah melanggar hak milik (mencuri foto).
Untuk kualitatifnya, saya mengelompokan atas penolakan dan penerimaan tersebut menjadi berikut:
Menerima | Menolak |
Bodo amat | Tidak mau “dikonsumsi” secara publik |
Lucu-lucuan | Tidak mau menerima konsekuensinya |
Melihat manfaat | Tidak melihat manfaat |
Merasa diakui | Mengelompokan |
Tabel hasil kualitatif eksperimen sosial @ui.cantik
Beberapa orang memang tidak peduli dengan keberadaan akun seperti ini, apalagi yang tidak memiliki akun Instagram, asal tidak mengganggu kehidupannya saja. Sedangkan yang menolak beranggapan bahwa dirinya tidak mau menjadi “pajangan” publik, dinikmati secara visual oleh orang banyak. Bahkan ada yang secara gamblang menulis “gue ga mau dijadiin bacol Yan.” Juga ada yang memiliki prinsip bahwa “cukup keluarga dan suami gue yang tau gue cantik.” Subhanallah.
Yang lain menganggap akun seperti ini hanya untuk lucu-lucuan saja, sekedar untuk jadi pembicaraan dengan teman satu peer ketika jam makan siang. Sedangkan ada yang merasa tidak sanggup untuk menerima konsekuensi yang dapat timbul, seperti “nanti jadi cengan”, “ngeri disalah gunakan”, dan “males akun gue kesebar”. Konsekuensi yang paling besar jelas bentuk komentar Indonesian people pada umumnya yang ngasal, seperti “yaelah gini doang apa cantiknya”, atau “sepong bisa sih ini". Feedback negatif seperti ini bisa membuat selft-esteem menurun. Memang, admin @ui.cantik cukup menyaring komentar-komentar sampah seperti itu. Bahkan langsung mem-block akun yang berani berkata tidak sopan. Tapi jelas, si perempuan yang dijadikan artis telah menjadi korban atas tekanan yang tidak perlu diterimanya.
Saya paling suka alasan ini Mas: menguntungkan, atau tidak. Dalam ilmu ekonomi, manusia memang dianggap makhluk yang rasional. Adalah manusia untuk senantiasa mengutamakan kepentingannya sendiri (self interested) dengan jalan memaksimalkan manfaat atau utilitas yang dapat ia terima sesuai dengan kondisi sumber daya yang tersedia. Bagi yang memandang resikonya terlalu besar, pasti tidak berpendapat bahwa ini menguntungkan. Tetapi ada juga pendapat bahwa ini adalah langkah untuk menarik perhatian lawan jenis. Maklum. Ketika wisuda, tuntutan untuk punya pendamping itu tinggi. Rasionalitas ini nanti berhubungan dengan apa yang akan saya tawarkan.
Tentang Pengelompokan
Dan terakhir, dan cukup penting dibicarakan, adalah tentang pengelompokan. Dengan masuk @ui.cantik, atau @hitsbiruhitam, berarti orang tersebut telah “diakui” oleh sang Admin, yang mana pengakuan tersebut dilihat oleh banyak orang. Orang tersebut pindah, dari luar, masuk ke dalam kelompok “cantik” atau “hits”. Ada lencana identitas yang ia dapat disana, Posisi sosialnya relatif terhadap lingkungan sekitar.
Menjadi rumit karena “posisi” ini pun terus didefinisikan ulang dan melibatkan pertarungan dari berbagai versi makna, masih dengan media sebagai aktor penentu.
Saya ambil contoh kecantikan. Sejak masih muda, iklan dan media pada umumnya mengajari perempuan bahwa ada yang salah pada diri mereka, Mas. Industri kecantikan meneriakkan pesan bahwa kesalahan/kekurangan itu harus diperbaiki, dan produk mereka mampu melakukannya. Setelah bertahun-tahun dipaksa memakan pesan-pesan tersebut, kaum perempuan pun percaya. Ternyata dampaknya sangat negatif pada cara kaum perempuan memandang diri mereka sendiri: hanya dua persen perempuanyang menyebut dirinya cantik.
Kalau Mas punya teman atau saudara perempuan yang termasuk dalam 98% sisanya, Mas mungkin perlu mengajaknya menonton video Dove Evolution oleh Tim Paper. Video tersebut memperlihatkan tentang bagaimana seorang model disorot dengan lampu yang sangat terang, menjalani proses rias wajah, tata rambut, lalu fotonya diedit menggunakan Photoshop untuk dikembangkan bibirnya, dipanjangkan lehernya, serta puluhan editan lainnya... Dan jadilah ia “sempurna”. Stereotip yang membuat banyak perempuan iri tanpa alasan. Kecantikan tidak realistis yang tak akan pernah diraih, tak peduli seberapa keras kaum perempuan mencoba.
Eksistensi manusia
Jadi ini adalah tentang self-confident, dan superiority. Media sosial memang sudah menjadi wadah bagi mereka untuk mencari hal tersebut. Adanya praktik jual-beli followers menjadi buktinya. Oiya, mari Mas, kalau mau beli followers saya ada link lho. Hehe.
Menurut syeh Abraham Maslow dalam teorinya Maslow's Hierarchy of Needs, memang ketika manusia sudah berinteraksi secara intens dengan lingkungan sosialnya maka muncul keinginan dari dalam diri sendiri untuk ingin merasa dihormati, diapresiasi (Esteem Needs). Jangan menilai cinta dari hirarki ini ya, Mas (dan memang cinta berada dalam hirarki yang berbeda). Status pacaran itu bukan sesuatu yang patut dicapai hanya untuk mendapatkan superiority atas para jomblo seperti saya.
Masih memakai teori yang sama, tingkatan selanjutnya, atau yang paling tinggi, adalah Self-Actualization needs. Penjelasannya dalam bahasa asing tertulis: self-aware, concerned with personal growth, less concerned with the opinions of others, and interested fulfilling their potential. Malas saya artikan karena lebih keren begitu. Intinya mereka yang berusaha mencari eksistensi dirinya dari orang lain, apalagi di media sosial, tak akan pernah ketemu. Pada dasarnya semua manusia memang berbeda-beda dan beragam, dan mencari eksistensi diri sendiri ini adalah proses manusia sampai akhir hayatnya.
Apakah makna ini bisa diimplementasi dalam bahasan kita?
Manfaat dan penyebarannya
Dalam buku pemasaran terbaik tahun 2014 oleh American Marketing Assosiation: Contagious karya Jonah Berger, salah satu strategi marketing yang ditawarkan adalah menggunakan prinsip Nilai Praktis (Practical Value). Prinsip ini adalah tentang bagaimana kita bisa merancang konten yang tampak bermanfaat. Berger memberi penjelasan bahwa pada dasarnya manusia memiliki sifat kolektifitas. Orang suka menolong satu sama lain. Maka ketika sesuatu tampak bermanfaat, penyebarannya akan lebih tinggi. Perusahaan Gojek di banyak kesempatan memakai strategi ini. Gojek menunjukan kepada kita bagaimana produk mereka dapat menghemat waktu, menghemat uang, dan paling utama membantu perekonomian kaum ojek pangkalan yang kurang terkoordinasi.
Pertama yang saya sarankan adalah mengubah makna. Emilia (komunikasi ’12), salah satu responden saya dalam eksperimen diatas, berkata bahwa dia tidak merasakan fungsi apa-apa dari akun @ui.cantik. Dia tidak mendapat inspirasi, motivasi, juga teman baru. “Gue melihat mereka sama aja kayak foto-foto pemandangan atau lukisan. Bedanya mereka bentuk muka orang aja.” Ini adalah soal fungsi dari media tersebut.
Barry (Mat ‘10) memang ganteng, tapi melupakan Barry yang merupakan Kepala Departemen Seni Budaya terbaik antar BEM di UI tahun 2013 mungkin suatu kekhilafan. Terlebih melupakan Virdy (Bio ’12) sebagai finalis Abang None Jakarta 2015, Bang Jovial (Fis ’08) yang sudah jadi artis sekarang, dan Bang Faldo (Fis ’08) yang... ah dia kebanyakan, Mas. Mereka memang Hits. Tapi masih tak lebih dari sekedar “pemandangan” di akun @hitsbiruhitam.
Bagaimana dengan ide bahwa akun ini yang tadinya hanya menampilkan orang-orang yang Hits menurut Mas, menjadi suatu gerakan untuk mendorong mahasiswa-mahasiswi di Mipa untuk tampil Hits?!
Masih dalam buku Contagious, prinsip lain menyebutkan bahwa faktor kunci dalam membuat produk atau ide lebih mudah menyebar adalah keterlihatannya di muka umum. Berger memberi contoh Apple yang menaruh logo mereka secara lebay di semua produk, besar dan mudah terlihat orang lain. Ketika Mas ngopi-ngopi-lucu sambil ngerjain tugas pakai iMac di kafe, maka secara tidak langsung Mas sedang jadi sales Apple.
Orang sering meniru hal yang ada di sekeliling mereka. Orang berpakaian dengan gaya sama seperti yang dipakai oleh temen mereka. Acara-acara komedi televisi menggunakan rekaman orang tertawa karena alasan ini: orang lebih mungkin tertawa ketika mendengar orang lain tertawa. Ungkapan terkenal untuk prinsip ini adalah “monkey see, monkey do”.
Contoh lain ketika Mas dengan gebetan (kalau punya) bermalam-mingguan, lalu pergi ke suatu tempat baru, dan ingin makan. Apa yang pertama Mas lihat dari luar? Pasti ramai atau tidaknya tempat tersebut. Pernah mengalaminya?
Sama dengan saya sewaktu kelas 3 SMA yang ketika SNMPTN memilih jurusan Teknik. Apakah karena saya sudah tau dengan pasti dan jelas nanti ingin berkarier seperti apa? Sudah tau mata kuliah semua jurusan sehingga dapat dijadikan perbandingan? Tidak sama sekali. Saya memilih lebih besar hanya karena kebanyakan anak SMA IPA kelas 3 di Indonesia memilih Teknik. Saya tidak yakin dengan pilihan yang akan saya pilih, jadi saya melihat orang lain karena merasa resikonya akan lebih kecil. Membuat saya merasa lebih nyaman ketika memutuskannya.
Mungkin banyak anak di Mipa ingin concern di bidang konservasi. Tapi banyak yang merasa belum nyaman untuk melakukannya. Dengan memunculkan Kak Marsya, Kak Ardiantiono, Kak Shera (Bio '10), beserta cerita-cerita seru mereka keluar masuk hutan, menjelajah berbagai pelosok Indonesia, mungkin akan menjadi dorongan motivasi tersendiri. Bahwa orang yang dekat dengan kita (satu fakultas) sudah melakukannya. Atau mereka yang ingin berkarir pada bidang pendidikan ada Kak Abas (Bio '08) CEO rumahsinau.org, atau Yuza (Mat '10) yang sedang magang di Ruangguru.com.
Berger berkata “Pikiran bersifat pribadi, sedangkan perilaku bersifat umum. Ketika sesuatu dibuat untuk dilihat, dia juga dibuat untuk tumbuh.” Tidak harus selalu mereka yang berprestasi saja yang diapresiasi, saya rasa kriterianya cukup dengan mereka yang benar-benar sedang berusaha memahami dirinya sendiri. Mereka yang sedang dalam pencariannya. Mereka yang mencari eksistensinya dengan tekun. Bisa saja Deo (Geo '12) yang menjadi andalan tim futsal UI, Kak Wawa (Bio '07) yang membangun Komunitas Peduli Lagu Anak Indonesia, atau Cheyenne (Kim '14) yang sedang sibuk menjelajahi alam bebas bersama Mapala UI.
Jadi apakah bisa @hitsbiruhitam menjadi sebuah akun yang mampu mendorong orang untuk berani menemukan jati dirinya, berani keluar dari zona nyamannya, berani menunjukkan diri sebagai orang yang tenggelam dalam mimpi besarnya? Saya jawab sangat bisa!
Menurut saya hal ini pun tentu merupakan wadah bagi anak Mipa untuk saling menumpahkan dukungan positif satu sama lain. Saya tidak kenal secara pribadi dengan Mounda (Bio '12), tapi saya tahu kalau Mbak satu ini juara 3 mapres Mipa dan jadi Mpok Depok, Duta Lingkungan Hidup 2015. Bagaimana saya bisa mengapresiasi capaian dia, atau yang lebih penting bagaimana Mbak Mounda tahu bahwa ada seorang bernama Ryan yang mengapresiasi dirinya? Lewat @hitsbiruhitam!
Sudah saya singgung bahwa menolong orang lain memberikan kesenangan bagi diri sendiri. Konsumen mendapat untung dari ongkos yang dikeluarkannya. Prinsip rasionalitas manusia tercapai.
Orang yang masuk pun mendapatkan identitas yang memiliki nilai lebih bermakna dari hanya sekedar “cantik”. Saya tanya, Mas lebih senang masuk koran Lampu Merah atau masuk majalah Times? Dengan begitu self-confident juga tercapai. Maka gagasan ini sekiranya dapat menyelesaikan masalah “penjualan” Mas yang lesu.
Keputusan di tangan Mas
Terakhir yang saya sampaikan, saya ga mau berharap terlalu tinggi lagi. Kalau jatuh pasti sakit banget, Mas. Karena kebenaran, dan juga ketidakbenaran, pun bukanlah monopoli siapapun. Jadi saya sangat bisa salah dengan cuap-cuap panjang saya ini. Nyatanya, juga banyak orang yang sebenarnya tidak siap dengan perubahan. Ketika sudah nyaman dengan satu keadaan tertentu, pantat kita akan susah sekali diangkat.
Tapi daripada akun Mas useless, seperti yang sudah saya bilang, saya sangat melihat adanya potensi pada akun ini. Dan inilah saran dari saya agar @hitsbiruhitam bisa bermakna dan siapa tau membawa perubahan positif. Kali saja menjadi contoh bagi akun-akun sejenis lainnya lho, Mas. Who knows?
Rekomendasi
Saya lupa, masih ada janji untuk merekomendasikan teman saya untuk masuk @hitsbiruhitam.
Dia seorang laki-laki yang bisa dibilang ganteng (di kelasnya). Badannya tegap bila dilihat dari sudut tertentu. Gaya rambutnya tak kan rusak diterpa angin badai karena sudah pakai pomade. Menjadikan bola sebagai teman layaknya Kapten Tsubasa. Wajahnya 11-12 dengan Sandy Sandoro kalau Mas belum minum suatu produk minuman dalam kemasan. Ya, dia adalah Riza Harmain a.k.a Narji.
Berikut saya jabarkan mengapa Narji pantas untuk masuk:
· Dikenal 90% pegawai mipa. Okelah mungkin angka ini mengada-ada. Tapi saya yakin di generasi mipa saat ini, Narji menduduki peringkat nomor 1 mahasiswa yang paling dikenal pegawai di mipa.
· Lead vocal di band Narji and Coconut. Walaupun sangat sering fals, tetap saja dia adalah lead vokal. Paling hits.
· 4 tahun membela Futsal Mipa. Sedari maba sudah jadi kontingen futsal untuk Olim. Menjadi Ketua Futsal Mipa tahun 2013, Wakil Ketua Ukor 2014.
· Aktif di berbagai kepanitiaan seperti UI Art War, Olimpiade UI, Mipa Cup, Maba Cup, dll.
· Juara 1 PKM-M FMIPA 2012, yang lalu menjadi kontingen Mipa untuk OIM UI 2012. Yah walaupun sangat banyak saya dan teman lain yang mengerjakan.
Jika itu masih kurang, Narji ini satu-satunya mahasiswa dalam sejarah FMIPA UI, bahkan masih dulu bernama FIPIA, yang bisa meminta dana dengan bilangan “juta” dari dekanat dengan hanya selembar coretan kertas, tulis tangan!! Tanpa memakai proposal tertulis nan rapih bin dijilid. Ketua BEM MIPA mana yang mampu? Kak Faldo, Kak Rivan? Kak Aid? Taufik? Majid? Bahkan ketua Majelis Syuro di Mipa pun belum tentu mampu melakukannya.
Memang, Narji masih menyandang status tuna asmara, tapi saya rasa dia berhak masuk dalam kelompok hits di Mipa. Kalau Mas tak punya foto dia yang kece, ini saya punya:

Komentar
Posting Komentar