Jembatan Nyinyir Margonda

(Ini adalah tulisan yang saya post di timeline Line pada 22 Agustus 2016. Waktu itu jam 2 malam, saya tidak bisa tidur lagi, sementara paginya sudah harus ke Kota Serang. Jadi untuk mengisi waktu sampai pagi saya nulis aja. Terus saya nulis ini juga karena ngeliat beberapa tulisan lain yang membahas hal serupa, terlihat terlalu terburu-buru/impulsif dan cuma membahas dari satu sudut pandang yang sama, yaitu si korban. Tulisan ini tidak saya duga di-share 159x, di-like 426 orang, dan jumlah komentarnya ada 66 obrolan. Saya taruh disini sebagai dokumenter tulisan saya saja)

- Jembatan Nyinyir Margonda -

Timeline Line saya yang biasanya cuma dipenuhi humor2 receh, kumpulan puisi, atau pidio2 amazing, mendadak berubah. Timeline bernuansa murung. Keluarga besar UI berduka. 21 Agustus 2016 pukul 01.25, adik kita Fevi kembali ke pangkuan-Nya setelah sebelumnya mengalami koma selama satu minggu.

Penyebabnya, Fevi ditabrak oleh pengendara motor pada 14 Agustus 2016 sekitar pukul 13.30 di jalan Margonda. Seminggu terakhir teman-teman, baik BEM UI, Farmasi maupun paguyuban Sukabumi sudah berusaha menolong, tetapi apa kata... Sang Maha kadang punya plot cerita yang berbeda dari harapan manusia.

Menyalahkan Tuhan dilarang siapapun, menyalahkan si pengendara motor pun rasanya sebagai kaum yang katanya terdidik, menjadi tidak etis. Maka Jalan Margonda lah jadi sasaran. Dia biang kerok! "Margonda tidak aman", "Margonda harus berubah" kata orang-orang.

Tapi berubah yang seperti apa? Margonda kembali ke jaman saya SD waktu Margo City masih kebun pisang pasti mustahil. Karena Fevi mengalami kecelakaan ketika menyeberang, lalu kegiatan menyeberang di Margonda dianggap berbahaya, maka kesimpulannya adalah harus dibuat Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) di Margonda. Tapi apakah benar JPO adalah solusi?

Apakah membangun Jembatan tersebut cepat? Berapa lama proses tender, kongkalikong, pengerjaan konstruksi -yang biasanya molor, sampai akhirnya JPO itu bisa digunakan? Membangun, walaupun sedikit, butuh tanah. Apakah yang punya tanah mau? Berapa lama proses hukumnya? Belum terkait regulasi, karena kalau tidak salah (CMIIW bahasa baratnya), status Jalan Margonda adalah jalan provinsi. Jadi mesti pemerintah tingkat provinsi yang mengeluarkan kebijakan.

Apakah pembangunannya baik? Saya mengesampingkan dulu bahwa dananya tidak dikorupsi sana-sini, sehingga kualitasnya maksimal. Membuat JPO sendiri perlu memperhatikan banyak hal, dan Depok sampai saat ini terlihat belum mampu memaksimalkannya. Bagaimana keselamatan pengguna? Materialnya tentu harus kokoh, lebarnya efektif dan kemiringan jalan yang baik. Apakah aman? Bila malam penerangannya cukup dan memiliki struktur maupun landscape yang tidak menghalangi pandangan banyak orang lain ke dalam JPO sehingga mudah dipantau. Kalau akhirnya di atas JPO ada preman, lalu Si Penyeberang ditusuk, sama saja membahayakan dong.

Apakah nyaman? Mudah dilalui dari berbagai tempat dengan adanya pelindung dari cuaca yang buruk, terhindar dari hambatan karena ruang yang sempit, serta permukaan pijakan yang nyaman dipergunakan oleh siapa saja termasuk juga penyandang cacat. Itu jembatan di Stasiun UI saja kalian ejek tho, apa namanya? Jembatan Aborsi? Belum ditambah faktor keindahan (estetika) seperti warna, bentuk dan juga kebersihan.

Kalau begitu, Apakah alternatif lain tidak ada? Bagaimana dengan memaksimalkan Zebra Cross atau Jalur Pelikan (fasilitas penyeberangan pejalan kaki yang dilengkapi dengan lampu lalu lintas untuk menyeberang jalan)? Seingat saya jalur Kober sudah Jalur Pelikan, tetapi yah… kita sama-sama tahu. Atau.. ternyata sebenarnya masalah lain yang lebih berpengaruh terhadap kecelakaan lalu lintas di Margonda? Angkot ngetem, jumlah kendaraan di Depok, ruas jalan, marka jalan, etika mengemudikan kendaraan bermotor, jumlah dan waktu jaga petugas di lapangan?

Yang mau saya sampaikan……… transportasi adalah masalah yang kompleks. Sangat kompleks (kalian yang masih menganggap remeh mesti bertemu Bu Widyawati yang cantik, dosen Transportasi di Geografi UI). Dengan bikin jembatan penyeberangan, tidak serta merta masalah bisa selesai. Contoh? Coba ke utara Margonda sikit, itu Lenteng Agung-Tanjung Barat udah ada JPO masih aja kan macetnya longlast sampe nanti matahari terbit dari barat.

Hasil analisa Setiawan (2006) dalam skripsinya “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Jembatan Penyeberangan” mengindikasikan bahwa alasan utama menggunakan jembatan penyeberangan pada jalan bermedian dan berpagar adalah karena terpaksa (49,5%), sedangkan pada jalan bermedian tidak berpagar maupun jalan tidak bermedian adalah karena lalu lintas padat (33,8%). Faktor kemudahan (waktu dan jarak menyeberang) menjadi faktor yang paling berpengaruh bagi responden yang cenderung tidak memanfaatkan jembatan penyeberangan. Jadi percuma bikin JPO kalau emang masyarakat Endonesiah yang pemalas ini tidak dipaksa.

Yang mau saya sampaikan kedua: kita memang harus desak Pemerintah Depok (untuk desak Pemerintah Provinsi bila yang saya sebutkan sebelumnya tentang status Jalan Margonda benar, atau buat kebijakan sendiri bila saya salah), tapi ya coba caranya yang lebih 'berkelas' gitu lho.

Memang pemerintah punya kewajiban untuk menyediakan fasilitas itu. Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 131 disebutkan: (1) Pejalan Kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain, (2) Pejalan Kaki berhak mendapatkan prioritas pada saat menyeberang jalan di tempat penyeberangan. Tapi kan kalian manusia yang katanya terdidik, ya kalo cuma nyinyir doang, Mas2 Tahu Bulet juga bisa (atau timeline Saya saja yang isinya orang-orang nyinyir).

Punya akses ke pemerintah? bagus. Ada kajian yang mumpuni sehingga bisa membantu Bapak-Ibu pemerintah Depok/Jabar menentukan kebijakan yang pas? itu mantap.

Seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, transportasi adalah masalah kompleks; JPO sendiri saja perlu memperhatikan banyak hal. Selain mahal, belum tentu pula menyelesaikan masalah. Hanya dengan Zebra Cross dan Jalur Pelican saja siapa tau sudah menjadi solusi bila dimaksimalkan sosialisasi dan penegakan penyelenggaraannya. Pun ongkos pembangunan dan perawatan keduanya lebih murah. Atau regulasi lain seperti penertiban kendaraan, misal, angkot yang entah gimana caranya jadi tertib sehingga penggunaan kendaraan umum meningkat. Jadi berkurang tuh pengendara bermotor, yang akhirnya menurunkan statistik kemungkinan human error.

Mana yang paling baik, efektif dan efisien? Ya itulah gunanya ada kajian, tidak asal bangun, tidak asal mengambil keputusan. Banyak yang mesti dipertimbangkan. Untuk pembuatan kebijakan fasilitas penyeberangan saja mesti menghitung waktu tunggu untuk menyeberang, densitas kendaraan, dan kecepatan arus pejalan kaki. Saya coba turunkan lagi, kecepatan arus pejalan kaki tergantung faktor: usia, jenis kelamin, keadaan fisik pejalan kaki, kondisi lingkungan sekitar, waktu pada saat berjalan, tujuan perjalanan, dll. Karakteristik mana yang lebih sering menyeberang?  Bagaimana desain yang pas untuk karakteristik tersebut?

Maka buat kelean anak2 muda generasi awkarin, kalau ada kuisioner mbok ya jangan males ngisi. Kajian perkotaan, tentang manusia, ya paling pas hasilnya ketika ada manusia yang setiap hari mengalami/bersentuhan dengan topik yang diteliti (orang lokal) jadi narasumber. Peneliti mau nanya ke siapa lagi coba kalau kajiannya tentang lalu lintas perkotaan? Kambing?

Dengan penelitian, yang rada mendalam tentunya bukan cuma pertanyaan macam “apakah Jembatan Penyeberangan harus dibuat atau tidak”, kita punya kekuatan untuk lebih mendorong pemerintah menentukan kebijakan. Walaupun biaya dari penelitian itu juga tidak sedikit.  

Atau bikin crowd-funding. Toh Kitabisa sudah mengakomodir. Bikin fasilitas bareng-bareng ga ada salahnya tho? Orang Depok kan kaya-kaya, Ayu TingTing aja orang Depok #Bangga. Siapa tahu bisa bikin lorong bawah tanah, lengkap dengan CCTV dan sistem pembuangan air berteknologi tinggi. SIAPA TAU :)

Jadi siapa yang mau meneliti? Siapa yang bikin crowd-funding? Ya gatau. Wong saya juga cuma nyinyir. Enak ya nyinyir. Kan susah bikin kajian. Enakan nyalahin pemerintah. Enakan nyuruh orang lain gerak. Saya aja dulu di kelas sukanya tidur. Kalau ditanya Andovi di vlog-nya juga saya akan bilang sering nyontek kalau ujian. Tidak usah belajar susah-susah. Masuk UI, tinggal nyontek, wisuda di balairung deh.

Pantas negaramu begini-begini aja Tong.

Ryan Nugraha - Geografi 2011




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Terbuka Untuk Mas Admin @Hitsbiruhitam

Tersangka Kisruh Akang Batman

Hampir Aja Gue Masuk Koran